Tittle
|
:
|
The TEEN-ACE
(Chapter 2)
|
Casts
|
:
|
Yoo Ra Eun (OC)
|
Kim Sohye (IOI)
|
||
Park Ji Hoon (Wanna
One)
|
||
Hwang Min Hyun (Wanna
One)
|
||
Jeon So Mi
(IOI)
|
||
Jung Chaeyeon (IOI)
|
||
Kim Jae Hwan
(Wanna One)
|
||
Ha Seok Jin
(Actor)
|
||
Author
|
:
|
Shin Eun So /
Nugichan (@Wp)
|
Genre
|
:
|
School life,
Romance
|
Length
|
:
|
Chapter
|
Ratting
|
:
|
General
|
Disclaimer : This
FF is truly mine. Komentar dan Saran adalah pupuk semangat bagi author.
No
Copy No Plagiat.
Enjoy Reading !
Also
posted on https://wannaoneffindo.wordpress.com/
and my personal wattpad @Nugichan
Restoran mewah Perancis dipilih
menjadi pengisi dinner Jeon So Mi dan ibunya malam itu. Beef Bourguignon dan
minuman Gatorade menjadi hidangan utama mereka. Tak tertinggal musik
instrumental dari para pemain biola mengalun lembut menemani para pengunjung
restoran yang pasti sudah bisa ditebak di kelas mana mereka berada.
“Bagaimana dengan kelasmu?” pertanyaan
dari Ibu So Mi memulai kembali pembicaraan mereka yang terhenti setelah pelayan
menyajikan hidangan.
“Aku mendapat tempat duduk yang
strategis, dekat dengan guru, dan di sekelilingku adalah siswa-siswa unggulan.”
Ujar So Mi.
“Kau sudah tahu perihal kompetisi yang
akan diadakan dalam waktu dekat ini bukan? Ini kesempatan bagus Soomi-ah. Kau
harus bisa menunjukkan pada Appamu jika kau mampu mendapat posisi pertama”
Somi memandang wajah Ibunya, ia diingatkan
kembali pada kompetisi Fisika yang akan diadakan dalam waktu dekat ini. Kompetisi
yang digagas ayahnya bekerjasama dengan Imprerial College London dimana
juara pertama lomba itu akan mendapat beasiswa penuh dan menjadi mahasiswa
istimewa yang diterima tanpa seleksi di Universitas terkenal di Inggris. Bahkan
berita itu sendiri belum tersebar kepada siswa Tourin.
“Hwang Min Hyun, dia mungkin tidak
ikut karena masih mengerjakan social project nya.”
“Benarkah, ini benar-benar jackpot
Joen Somi.” Ibunya tersenyum puas, walaupun sekilas ia dapat menangkap raut kesal
saat ia memanggil nama putrinya lengkap dengan marga.
“Ani Eomma, aku masih memiliki
satu saingan yang sangat sulit dikalahkan.”
Perkataan So Mi membuat ibunya
mengernyit, hingga ia menyadari sesuatu. Benar, berada di kelas A bukan berarti
yang terbaik. Karena di atas unggul ada yang yang lebih unggul. Ia tahu
putrinya adalah anak yang penuh ambisi dan masuk dalam jajaran bintang Tourin
School. Ia menghentikan santapan makan malamnya kemudian menatap ke arah
jalanan kota yang masih diguyur hujan sejak sore tadi. Dibalik tatapannya yang
datar, terselip sebuah rencana.
~ ~ ~
Lee Sora (C-2)
Pengurangan poin : 20
Hukuman : skorsing satu minggu.
Han Ji Hoo (D-2)
Pengurangan poin : 5
Hukuman : menjadi pelayan makanan selama jam istirahat.
Tertanda
Kepala
Sekolah Tourin
Han
Ji Kwon
Papan pengumuman menjadi ramai sejak
guru Nam menempelkan keputusan hukuman yang diterima Sora tentang insiden klub
malam. Beberapa siswa terlihat berbisik-bisik, sedangkan di antara kerumunan itu
terlihat Chaeyeon yang menahan kegeramannya.
“Yaa..mincheosso… !!” Ra Eun
yang cukup terkejut mendengar teriakkan itu menyenggol pelan lengan sahabatnya.
“Raccon-ah, Han Ji Hoo adalah pelaku
yang menyebarkan foto Sora bukan kau, dan sedikitpun tak ada kompensasi untuk
kameramu?”
Ra Eun dapat memahami kekesalan
sahabatnya, walaupun Ra Eun sendiri sudah
menerima permintaan maaf dari Sora, namun jauh di lubuk hatinya ia masih
tak rela kehilangan kamera kesayangannya.
“Sudahlah, walaupun aku mendapat
kompensasi, aku tak akan bisa mendapatkan kamera yang sama.”
Perkataan Ra Eun membuat Chaeyeon
sadar. Memang kamera pemberian ayahnya tak akan tergantikan, dan pasti akan
sulit mendapatkan kamera dengan jenis yang sama karena perusahaan tidak memproduksinya
lagi.
“Yoo Ra Eun.” Sebuah suara terdengar
memanggil Ra Eun dari arah kerumunan, beberapa siswa terlihat menundukkan
kepalanya saat mengetahui kedatangan sosok tersebut.
“Ye, Ha ssaem.” Ra Eun yang mengetahui
siapa memanggilnya juga turut menundukkan kepalanya. Dia adalah Ha Soek Jin,
guru sekaligus wali kelas F.
“Bisa ikut aku ke kantor guru sebentar?”
“Ah, ye.” Ra Eun yang masih terlihat
kebingungan melihat sekilas ke arah Chaeyeon seolah bertanya apa benar aku
yang dipanggil, kenapa aku. Chaeyeon hanya membalasanya dengan anggukan
cepat seakan meyakinkan sahabatnya.
~ ~ ~
“Ini.” Guru Ha menyerahkan gulungan
kertas berukuran A3 kepada Ra Eun, dengan bimbang Ra Eun menerima gulungan itu
dan membukanya perlahan. Ia mengernyit
saat melihat ternyata gulungan kertas itu adalah poster lomba fotografi yang
diadakan oleh dinas pariwisata Seoul.
“Aku tau, kau memiliki bakat dalam
dunia fotografi. Kau mungkin ingin mencobanya.”
Ra Eun memandang sekilas wajah Guru
Ha, kemudian melanjutkan kembali membaca posternya, hingga matanya membulat
saat melihat tulisan di bagian akhir poster itu.
“Hadiah utama kamera DSLR, daebakk.”
Ra Eun bergumam, Guru Ha tersenyum melihat ekspresi nya, “Tapi ssaem, ada
standar kamera sebagai salah satu persyaratan. Aku tidak mungkin menggunakan
kamera ponsel”
“Ahh benar.” Guru Ha baru menyadari
jika kamera Ra Eun telah rusak, ia memijit pelipisnya pelan mencoba mencari
solusi.
“Aku akan mencari informasi pada
rekanku, mungkin mereka bisa meminjamkan kamera. Jika sudah dapat, aku akan
menghubungimu”
Ra Eun tersenyum, ia dapat mendengar
kesungguhan dari ucapan guru Ha. Walaupun banyak siswa yang memiliki penilaian
bermacam-macam terhadap guru yang sudah mengabdi selama lima tahun di sekolah
Tourin itu, Ra Eun yakin dia adalah guru yang peduli dan akan selalu siap
berkorban demi siswanya.
“Ye, ghamsahaminida ssaem,
kalau begitu saya pamit ke kelas.”
~ ~ ~
Sehabis jam sekolah, Ra Eun tak
langsung pulang ke rumah. Ia menemani
Chaeyeon ke toko peralatan memasak karena ada sesuatu yang ingin dibelinya.
Chaeyeon memiliki hobi memasak dan Ra Eun mengakui jika masakkan yang dibuat sahabatnya
itu memang lezat, berbeda sekali dengan dirinya yang masih canggung berhubungan
dengan peralatan dapur. Selesai berbelanja, Ra Eun dan Chaeyeon berpisah karena
arah pulang mereka berlawanan. Karena jarak rumah nya cukup dekat dari
pertokoan, Ra Eun memutuskan untuk berjalan kaki sambil menikmati suasana sore
yang cerah. Beberapa kafe dan taman mulai terlihat banyak pengunjung, baik
mereka yang tengah istirahat bekerja ataupun mereka yang ingin mencari udara di
luar. Saat melewati taman, Ra Eun melihat seorang berseragam Tourin sedang
mengambil foto orang-orang yang tengah beraktifitas di taman itu. Ia tak dapat
memastikan siapa karena Ra Eun hanya melihat bagian belakangnya saja. Karena
penasaran, Ra Eun memutuskan untuk mendekatinya.
“Hwang Min Hyun” Sapa Ra Eun setelah
mengenali wajah siswa nomor 1 di Tourin School itu.
“Oh, Yoo Ra Eun.”
“Apa yang…wahhhh.” Perkataan Ra Eun
terputus karena perhatiannya kini teralih pada benda yang sedang dipegang Min
Hyun.
“EOS 5D, memiliki sensor full frame,
resolusi 30,4 megapiksel, dapat mengambil objek dengan pergerakan cepat dan
akurat.” Ra Eun berdecak kagum dan memandang takjub ke arah kamera yang menjadi
salah satu hal yang paling diimpikannya saat ini.
“Hebat, kau bahkan hafal spesifikasinya.” Min Hyun
sendiri tak dapat menahan senyumnya melihat ekspresi takjub Ra Eun.
“Yaa, semua orang pasti bermimpi
memiliki kamera ini. Memangnya… apa yang sedang kau lakukan di taman ini?” Ra
Eun melanjutkan pertanyaannya sambil memperhatikan Min Hyun.
“Aku sedang mengambil foto untuk social
project ku. Mmm, Ra Eun-ah. Apa kau sibuk?”
“Na… ani, wae?” Ra Eun menggeleng.
“Bisa membantuku?”
Dan yang terjadi selanjutnya adalah Ra
Eun menjadi fotografer dadakan untuk proyek Min Hyun. Setelah mendapat
pengarahan, ia mengambil foto yang sesuai dengan konsep. Ra Eun bahkan berhasil
mengambil beberapa moment yang pas dan terjadi secara natural. Sedangkan Min
Hyun bertugas untuk mewawancarai orang sekitar untuk memenuhi data proyeknya.
Tak terasa satu jam berlalu, sebagai
ungkapan terimakasih Min Hyun mentraktir Ra Eun ice cream. Sebuah bangku di
bawah pohon yang cukup rindang dipilih mereka untuk menghilangkan penat.
“Wahh, hasil jepretanmu sangat bagus,
seperti professional saja.” Puji Minhyun sambil membuka satu persatu foto yang
telah diambil Ra Eun.
Ra Eun tersenyum malu. Jadi begini
rasanya dipuji oleh orang yang sering diberikan pujian. “Aku bercita-cita ingin
menjadi fotografer yang professional suatu hari nanti, jadi aku masih harus
banyak belajar. “
Min Hyun menganggukkan kepalanya, Ia
kembali menatap gadis di sebelahnya yang hampir menghabiskan ice cream vanilla hingga
perhatiannya tertuju pada gulungan kertas yang keluar dari tas Ra Eun. “Apa
yang ada dalam tasmu?”
Ra Eun yang mengerti maksud Minhyun segera
menarik keluar gulungan kertas itu dan memperlihatkan isinya. “Ha ssaem yang
memberikannya padaku.”
Min Hyun membaca sekilas isi poster
tersebut kemudian mengangguk-angguk “Apa kau akan ikut perlombaan ini?”
Mendengar pertanyaan Min Hyun, Ra Eun
hanya mengendikkan bahunya. Sejujurnya ia sendiri masih bimbang untuk mengikuti
event itu.
“Ahh, benar, kameramu rusak karena terjatuh
dari lantai 3 sekolah.” Min Hyun memiringkan kepalanya, ia bisa mengingat
dengan jelas kejadian jatuhnya kamera Ra Eun karena dia sendiri berada tak jauh
dari tempat kejadian saat itu.
“Pakai ini.” Lanjut Min Hyun, sambil
menyodorkan kameranya ke arah Ra Eun.
Ra Eun yang belum sepenuhnya mengerti
maksud Min Hyun hanya bisa menatapnya kebingungan.
“Pakai
saja kamera ini. Lagipula aku sudah selesai dengan dokumentasi
proyekku.”
“Hwang Min Hyun… apa aku bermimpi?”
Pertanyaan Ra Eun membuat Minhyun
tertawa, ia meraih telapak tangan Ra Eun dan meletakkan kamera miliknya di
atasnya.
“Aku meminjamkan kameraku agar kamu
bisa mengambil gambar dan mengirimnya pada panitia lomba.”
Perkataan Min Hyun membuat Ra Eun
melonjak kegirangan. Gadis itu bahkan tak henti-hentinya berucap terimakasih. Dibalik
wajahnya yang polos, Min Hyun dapat menangkap tekad kuat dan perjuangan. Tanpa
ia sadari, wajah ceria gadis itu telah menarik satu sudut kecil di hatinya.
~
~ ~
Sohye melangkahkan kakinya pelan seiring
putaran roda sepeda yang ditundanya melewati jalanan yang cukup sepi. Ia baru
saja menuntaskan pekerjaan untuk mengantarkan laundry kepada pelanggan ibunya.
Langkahnya terhenti ketika sebuah suara memanggil namanya.
“Kim Sohye.”
Sohye mundur beberapa tapak ketika
melihat beberapa gadis dengan pakaian modis mendekatinya. Tubuhnya membeku,
berbagai asumsi buruk bermunculan dari kepalanya. Salah seorang dari mereka
yang disinyalir ketua dari geng itu mengambil beberapa buku dan menaruh kasar
di dalam keranjang sepeda Sohye.
“Kerjakan tugas kami bertiga. Besok
harus diserahkan pada Nam ssaem, dan pastikan untuk tidak membuat kesalahan.”
Sohye dengan ragu mengambil salah satu
buku dari dalam keranjang sepeda kemudian membacanya. ia mengernyit ketika
melihat kertas sanksi yang terselip di antara buku itu.
“I..ini bukan PR kalian?”
“Eohh, itu hukuman dari Nam ssaem,
kami harus menulis essay sebanyak 10000 kata dan dikumpulkan besok. Kau
keberatan?”
Sohye menggeleng pelan, ia menatap
sejenak tugas essay yang begitu banyak, apalagi ia harus mengerjakan untuk tiga
orang sekaligus, tiba-tiba ia teringat ibunya yang ada di rumah “Tapi.. ibuku
sedang sakit dan aku harus membantu beberapa pekerjaannya. Aku tidak yakin
dapat menyelesaikannya malam ini”
Jawaban Sohye menyulut emosi si ketua
geng, Na Bora, ia kemudian menarik rambut Sohye dan berbisik di telinganya “Yaa..
kau hanya perlu menggunakan otakmu seikya.”
Bora mendorong kepala Sohye hingga membuatnya
hampir hilang keseimbangan. Tidak ada rasa kasihan sama sekali, yang ada
hanyalah tawa penghinaan dari mulut-mulut gadis itu. Sohye mencoba menahan
matanya yang mulai memanas, ini sudah menjadi hal biasa baginya.
“Wahh wahh, ternyata semudah itu
kalian mengerjakan essay.” sebuah suara menghentikan aktivitas Na Bora dan
teman-temannya.
“Yaa.. Park Ji Hoon, mwohaneungoya?”
Bora menatap sinis saat melihat kedatangan Ji Hoon, ia semakin geram saat
mengetahui Ji Hoon mengarahkan kamera ponselnya ke arah mereka.
“Sohye-ah, kau bisa mendapat tambahan
poin karena sering menulis esai. Tapi sayang sekali, essay-essay mu digunakan untuk
menebus kesalahan orang lain” Ujar Ji Hoon sambil menurunkan ponselnya.
Bora mengepalkan tangannya dan
berjalan ke arah Ji Hoon, ia berniat untuk merebut ponsel itu namun tak bisa
karena Ji Hoon mengalihkannya dengan cepat “Kau tak usah ikut campur Park Ji Hoon,
ini urusan kami. Lebih baik kau pulang dan urus kedai dagingmu.”
Ji Hoon hanya menanggapinya dengan
kekehan. Salah satu teman Bora mendekat dan membisikkan sesuatu kepadanya.
Mereka tampaknya tak mau memperpanjang urusan sehingga memutuskan untuk
beranjak dari tempat itu.
“Kau baik-baik saja?” Ji Hoon memastikan
keadaan Sohye yang masih terlihat gemetar.
“Aku baik-baik saja. Park Ji Hoon
kumohon, jangan berikan video itu kepada Nam ssaem.”
“Tenang saja, aku akan menunjukkannya
saat kau sudah siap menjadi pembela untuk dirimu sendiri.”
Sohye terdiam, Ji Hoon benar. Ia masih
tak berani keluar dari belenggu Bora dan teman-temannya. Kadang ia merasa satu sisi dirinya berontak untuk bangun
dari mimpi buruk, namun di sisi lain, sesuatu masih menahan keberaniannya untuk
tetap tidur. Ia kembali memandang Ji Hoon yang mulai beranjak meninggalkannya,
entah kenapa Sohye merasa bisa menaruh harapan pada sosok itu.
~
~ ~
Bel istirahat pertama, Ji Hoon
melangkahkan kakinya cepat melewati koridor yang mulai dipenuhi lalu lalang
siswa. Sesekali ia memainkan smartphonenya seperti membalas pesan dari
seseorang. Hingga langkah kakinya membawa ke tempat yang jauh dari keramaian,
tepatnya menuju halaman belakang sekolah. Tanpa memperhatikan sekitar, Ji Hoon
langsung menaiki tangga yang bersandar pada tembok dengan tinggi 2,5 meter itu,
tanpa ia sadari seseorang sedang memperhatikan tindakannya.
“Yaa.. kau lagi.”
Teriakkan seorang siswa membuat Ji
Hoon menghentikkan langkahnya yang hampir mencapai puncak tangga dan menoleh ke
bawah.
“Mau ikut?” tak berniat menghentikan
tindakannya, Ji Hoon justru mengajak gadis yang kini tengah menatapnya tajam.
“Memangnya kau mau kemana?”
“Namsan Tower.”
Jawaban Ji Hoon justru membuat gadis
itu diam, ia nampak menimbang-nimbang pikirannya.
“Sebenarnya aku..”
Belum sempat gadis itu menyelesaikan
perkataannya sebuah teriakkan keras mengejutkan mereka.
“Park Ji Hoon, Yoo Ra Eun.. ke kantor
guru sekarang juga.”
~ ~ ~
Ra Eun tak habis pikir, bagaimana bisa
ia ikut menanggung beban hukuman dengan alasan percobaan membolos. Berkali-kali
ia meyakinkan Nam ssaem bahwa dirinya tidak berniat untuk melakukan hal itu dan
hanya memberi teguran pada Ji Hoon yang sedang mencoba kabur dari sekolah. Namun
percuma, Nam ssaem tetap berpegang dan membenarkan asumsi awal dari apa yang
dilihatnya.
Ra Eun menempelkan lap basah ke kaca
ruang laboratorium dengan kasar, kemudian menggerakkannya dengan cepat. Ia
mendesis melihat ke arah Ji Hoon, wajah innocent itu benar-benar
membuatnya kesal.
“Ya.. kenapa kau tak mengatakan yang
sebenarnya?” Ra Eun sudah tak sabar melihat Ji Hoon yang hanya diam.
“Percuma, walaupun itu bukan kau, Nam
ssaem pasti akan memberikan hukuman yang sama.”
“Setidaknya kau bisa memberikan
pembelaan untukku, Park Ji Hoon.”
“Kudengar kau akan ikut kompetisi
fotografi. Sebenarnya kau juga ingin mencari kesempatan untuk keluar dari
sekolah kan?
Ra Eun terhenyak, bagaimana bisa pria
ini menebak fikirannya. Namsan Tower memang menjadi salah satu opsi Ra Eun untuk
objek fotonya. Namun padatnya jadwal sekolah membuatnya kesulitan mengatur
waktu, lagipula jarak dari rumahnya ke sana cukup jauh.
Namun tetap saja, Ra Eun merasa
menyesal. Andai saja tadi ia tak memergoki Ji Hoon, mungkin ia tak akan dihukum
membersihkan kaca dan menjadi bahan bisikan dan tawaan para siswa yang melewati
mereka.
Ra Eun menghentikkan kegiatan
melapnya, ia berbalik dan menyandarkan belakangnya ke dinding kemudian memijit
perlahan bahunya yang mulai pegal. Ra Eun menarik nafas dalam setelah
menghitung jumlah jendela masih harus dibersihkan. Di tengah rasa penatnya, tiba-tiba ia
mendengar suara benda jatuh dari dalam laboratorium. Karena penasaran ia
kemudian masuk untuk melihat.
“Kim Sohye, gwenchana?” Ra Eun
dengan cepat menghampiri Sohye yang tengah memungut beberapa bejana percobaan
yang jatuh ke lantai.
“Tak apa Ra Eun.”
“Untung tidak ada yang pecah.” Ra Eun
membantu Sohye memunguti bejana-bejana itu dan meletakkannya ke dalam
keranjang. Sekilas ia dapat melihat raut wajah Sohye yang pucat dengan
lingkaran hitam di bawah matanya.
“Kau sakit?”
“Ti..tidak.. aku hanya mengantuk
karena begadang untuk belajar malam tadi.”
“Ckck.. orang pandai sepertimu saja
masih perlu begadang untuk belajar, bagaimana dengan orang biasa seperti aku. “
Perkataan Ra Eun membuat Sohye
terkikik.
“Gomawo Ra Eun-ah sudah membantuku. Oh
ya, semangat untuk membersihkan kacanya. Kalau begitu aku kembali ke kelas
dulu.”
Ra Eun mengangguk kemudian mengikuti
langkah Sohye yang telah meninggalkan ruang laboratorium terlebih dulu. Ra Eun
kembali mengambil beberapa lap basah dan melangkah menuju bagian jendela yang
masih belum dibersihkan. Namun tiba-tiba dari kejauhan ia melihat kepala
sekolah dan sekelompok orang berjas hitam berjalan melewati lorong tempat
mereka berada. Ia pun segera berlari ke arah Ji Hoon.
“Ji Hoon-ah, berhentilah. Kepala
sekolah dan beberapa orang akan lewat” Ra Eun menepuk cepat bahu Ji Hoon.
Ji Hoon tak menghiraukan, ia justru masih
asyik dengan kegiatan melapnya. Orang-orang itu semakin dekat, karena geram
akhirnya Ra Eun menarik seragam Ji Hoon.
“Yaaa.. palli .. berbaliklah.”
Bosan karena bajunya terus ditarik
oleh Ra Eun, Ji Hoon dengan malas membalikkan badannya. Berbeda dengan Ra Eun yang
segera membungkukkan badan, Ji Hoon justru berdiri mematung saat kepala sekolah
dengan beberapa orang berambut pirang dan seorang lagi yang cukup ia ketahui,
Ayah Somi komite sekaligus donator terbesar sekolah Tourin, berjalan melewatinya.
Namun senggolan dari Ra Eun membuatnya tersadar dan membungkukkan kepalanya
sekilas kemudian kembali pada aktivitasnya. Tanpa Ra Eun ketahui, Ji Hoon saat
ini tengah menahan gejolak di dalam hatinya karena untuk kesekian kali ia
melihat sosok yang benar-benar tak ingin dijumpainya.
~
~ ~
Guru Ha hampir selesai menggoreskan
kapurnya ke atas papan tulis membentuk susunan kata yang membuat siswa di kelas
F-2 mengeluh panjang, bahkan beberapa diantara mereka terdengar mengumpat
kecil.
“Baiklah, sebelum kalian bertanya dan
protes, Bapak akan menyampaikan bahwa kompetisi ini adalah kerjasama Sekolah
Tourin dengan Universitas London, dan jika kalian mendapat nilai termasuk
kriteria, kalian memiliki kesempatan untuk mendapat beasiswa melanjutkan pendidikan di sana.”
Guru Ha menarik nafasnya dalam, ia dapat menangkap ekspresi wajah-wajah
siswanya yang sama sekali tak menunjukkan ketertarikan, hingga seorang siswa
mengangkat tangannya.
“Ssaem, ini tak ada bedanya ujian, dan
tentang pengurangan poin bagi siswa yang mendapat nilai di bawah standar
benar-benar tidak masuk akal. Bukankah kompetisi semacam ini seharusnya hanya
dikhususkan untuk siswa kelas A?”
“Ne, ssaem. Kami sadar diri, kami
adalah siswa kelas F, Fool Class.” Sambung Jaehwan lain yang justru
membuat siswa lain menunjukkan kepalan tangan kepadanya.
“Ssaem kami keberatan.”
“Ha ssaem, aku sangat benci Fisika.”
“Lebih baik aku tidak ikut, walaupun ikut,
aku pasti akan mendapat pengurangan poin.”
Ha Soek Jin Songsaengnim memusut
wajahnya. Ia sudah tahu jika keputusan ini pasti akan mendapat penolakan dari
siswa-siswanya. Awalnya ia sangat senang karena semua siswa memiliki kesempatan
untuk mengikuti kompetisi tersebut, namun peraturan pengurangan poin bagi siswa
yang mendapat nilai dibawah standar membuatnya keberatan. Ia telah mencoba
bernegosisasi dengan kepala sekolah, namun tak berhasil.
~
~ ~
Two days latter
“Mian Seohye-ah, aku benar-benar ingin
membantumu tapi…”
“Gwenchana, aku bisa melanjutkannya
sendiri. Kau tak perlu khawatir.”
“Jinja.. jongmal gomawo, aku
akan mentraktirmu nanti.”
“Kau tak perlu repot, baiklah,
hati-hati dijalan.”
Seohye memandang kepergian
temannya, lebih tepatnya partner satu divisi di organisasi siswa Sekolah Tourin.
Niat awal mereka akan menyelesaikan proposal kegiatan musim panas sehabis jam
sekolah, namun kini Sohye harus mengerjakannya sendiri karena partnernya harus
pulang lebih awal untuk bertemu dengan mentor baru bimbingan belajarnya. Sebenarnya
ada rasa iri dalam diri Sohye, dimana semua siswa kelas A kecuali dirinya memiliki
konsultan pendidikan. Ia sadar bahwa orang tuanya tak akan mampu membayar
seorang mentor belajar apalagi seorang konsultan, karena itulah Sohye selalu
belajar mandiri agar ia terus bisa berada di kelas unggulan.
Tak terasa sudah 2,5 jam Sohye
mengerjakan proposal. Ia merenggangkan otot tangan dan lehernya sambil melihat
ke arah jam yang telah menunjukkan pukul 21.45. Ia sadar bahwa tidak ada
satupun siswa di sekolah pada jam ini kecuali dirinya, semua guru juga pasti
sudah pulang. Setelah mencek kembali isi proposal dan merapikan peralatan,
Sohye bergegas menuju ruang guru untuk meletakkan proposal di meja Guru Jang sesuai
dengan janjinya sore tadi.
Sohye melangkah cepat melalui
koridor sekolah yang cukup gelap. Saat ia hampir tiba di ruang guru, sesuatu
membuat Sohye mengerutkan kening ketika melhat cahaya di dinding depan ruang
guru, karena penasaran Sohye segera berlari. Tepat saat ia membuka pintu,
sesuatu membuat tubuhnya membeku, jantungnya berdetak cepat memompa deras aliran darahnya, proposal
ditangannya pun jatuh begitu saja. Kedua bola matanya yang terbuka lebar
memantulkan cahaya kobaran api yang menyala-nyala dari satu sudut ruang guru
Sekolah Tourin.
To be continued
Niat awal pengen bikin
oneshoot, malah jadi chaptered. Padahal nulis aja masih canggung dan keteteran
karena udah lama ga aktif.. I guess I’ve
to learn more… ;-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar