Kamis, 24 Agustus 2017

The TEEN-ACE (Chapter 2)


Tittle
:
The TEEN-ACE (Chapter 2)
Casts
:
Yoo Ra Eun (OC)


Kim Sohye (IOI)


Park Ji Hoon (Wanna One)


Hwang Min Hyun (Wanna One)


Jeon So Mi (IOI)


Jung Chaeyeon (IOI)


Kim Jae Hwan (Wanna One)


Ha Seok Jin (Actor)
Author 
:
Shin Eun So / Nugichan (@Wp)
Genre  
:
School life, Romance
Length 
:
Chapter
Ratting
:
General



Disclaimer  : This FF is truly mine. Komentar dan Saran adalah pupuk semangat bagi author.
No Copy No Plagiat. Enjoy Reading !
Also posted on https://wannaoneffindo.wordpress.com/ 
and my personal wattpad @Nugichan


                Restoran mewah Perancis dipilih menjadi pengisi dinner Jeon So Mi dan ibunya malam itu. Beef Bourguignon dan minuman Gatorade menjadi hidangan utama mereka. Tak tertinggal musik instrumental dari para pemain biola mengalun lembut menemani para pengunjung restoran yang pasti sudah bisa ditebak di kelas mana mereka berada.
          “Bagaimana dengan kelasmu?” pertanyaan dari Ibu So Mi memulai kembali pembicaraan mereka yang terhenti setelah pelayan menyajikan hidangan.
          “Aku mendapat tempat duduk yang strategis, dekat dengan guru, dan di sekelilingku adalah siswa-siswa unggulan.” Ujar So Mi.
          “Kau sudah tahu perihal kompetisi yang akan diadakan dalam waktu dekat ini bukan? Ini kesempatan bagus Soomi-ah. Kau harus bisa menunjukkan pada Appamu jika kau mampu mendapat posisi pertama”
          Somi memandang wajah Ibunya, ia diingatkan kembali pada kompetisi Fisika yang akan diadakan dalam waktu dekat ini. Kompetisi yang digagas ayahnya bekerjasama dengan Imprerial College London dimana juara pertama lomba itu akan mendapat beasiswa penuh dan menjadi mahasiswa istimewa yang diterima tanpa seleksi di Universitas terkenal di Inggris. Bahkan berita itu sendiri belum tersebar kepada siswa Tourin.
          “Hwang Min Hyun, dia mungkin tidak ikut karena masih mengerjakan social project  nya.”
          “Benarkah, ini benar-benar jackpot Joen Somi.” Ibunya tersenyum puas, walaupun sekilas ia dapat menangkap raut kesal saat ia memanggil nama putrinya lengkap dengan marga.
          “Ani Eomma, aku masih memiliki satu saingan yang sangat sulit dikalahkan.”
          Perkataan So Mi membuat ibunya mengernyit, hingga ia menyadari sesuatu. Benar, berada di kelas A bukan berarti yang terbaik. Karena di atas unggul ada yang yang lebih unggul. Ia tahu putrinya adalah anak yang penuh ambisi dan masuk dalam jajaran bintang Tourin School. Ia menghentikan santapan makan malamnya kemudian menatap ke arah jalanan kota yang masih diguyur hujan sejak sore tadi. Dibalik tatapannya yang datar, terselip sebuah rencana.
          ~ ~ ~
          Lee Sora (C-2)
Pengurangan poin : 20
Hukuman              : skorsing satu minggu.
          Han Ji Hoo (D-2)
Pengurangan poin  : 5
Hukuman              : menjadi pelayan makanan selama jam istirahat.

                                                                    Tertanda
                                                                    Kepala Sekolah Tourin
                                                                    Han Ji Kwon

          Papan pengumuman menjadi ramai sejak guru Nam menempelkan keputusan hukuman yang diterima Sora tentang insiden klub malam. Beberapa siswa terlihat berbisik-bisik, sedangkan di antara kerumunan itu terlihat Chaeyeon yang menahan kegeramannya.
          “Yaa..mincheosso… !!” Ra Eun yang cukup terkejut mendengar teriakkan itu menyenggol pelan lengan sahabatnya.
          “Raccon-ah, Han Ji Hoo adalah pelaku yang menyebarkan foto Sora bukan kau, dan sedikitpun tak ada kompensasi untuk kameramu?”
          Ra Eun dapat memahami kekesalan sahabatnya, walaupun Ra Eun sendiri sudah  menerima permintaan maaf dari Sora, namun jauh di lubuk hatinya ia masih tak rela kehilangan kamera kesayangannya.
          “Sudahlah, walaupun aku mendapat kompensasi, aku tak akan bisa mendapatkan kamera yang sama.”
          Perkataan Ra Eun membuat Chaeyeon sadar. Memang kamera pemberian ayahnya tak akan tergantikan, dan pasti akan sulit mendapatkan kamera dengan jenis yang sama karena perusahaan tidak memproduksinya lagi.
          “Yoo Ra Eun.” Sebuah suara terdengar memanggil Ra Eun dari arah kerumunan, beberapa siswa terlihat menundukkan kepalanya saat mengetahui kedatangan sosok tersebut.
          “Ye, Ha ssaem.” Ra Eun yang mengetahui siapa memanggilnya juga turut menundukkan kepalanya. Dia adalah Ha Soek Jin, guru sekaligus wali kelas F.
          “Bisa ikut aku ke kantor guru sebentar?”
          “Ah, ye.” Ra Eun yang masih terlihat kebingungan melihat sekilas ke arah Chaeyeon seolah bertanya apa benar aku yang dipanggil, kenapa aku. Chaeyeon hanya membalasanya dengan anggukan cepat seakan meyakinkan sahabatnya.
          ~ ~ ~
          “Ini.” Guru Ha menyerahkan gulungan kertas berukuran A3 kepada Ra Eun, dengan bimbang Ra Eun menerima gulungan itu dan membukanya perlahan. Ia  mengernyit saat melihat ternyata gulungan kertas itu adalah poster lomba fotografi yang diadakan oleh dinas pariwisata Seoul.
          “Aku tau, kau memiliki bakat dalam dunia fotografi. Kau mungkin ingin mencobanya.”
          Ra Eun memandang sekilas wajah Guru Ha, kemudian melanjutkan kembali membaca posternya, hingga matanya membulat saat melihat tulisan di bagian akhir poster itu.
          “Hadiah utama kamera DSLR, daebakk.” Ra Eun bergumam, Guru Ha tersenyum melihat ekspresi nya, “Tapi ssaem, ada standar kamera sebagai salah satu persyaratan. Aku tidak mungkin menggunakan kamera ponsel”
          “Ahh benar.” Guru Ha baru menyadari jika kamera Ra Eun telah rusak, ia memijit pelipisnya pelan mencoba mencari solusi.
          “Aku akan mencari informasi pada rekanku, mungkin mereka bisa meminjamkan kamera. Jika sudah dapat, aku akan menghubungimu”
          Ra Eun tersenyum, ia dapat mendengar kesungguhan dari ucapan guru Ha. Walaupun banyak siswa yang memiliki penilaian bermacam-macam terhadap guru yang sudah mengabdi selama lima tahun di sekolah Tourin itu, Ra Eun yakin dia adalah guru yang peduli dan akan selalu siap berkorban demi siswanya.
          “Ye, ghamsahaminida ssaem, kalau begitu saya pamit ke kelas.”
          ~ ~ ~
          Sehabis jam sekolah, Ra Eun tak langsung  pulang ke rumah. Ia menemani Chaeyeon ke toko peralatan memasak karena ada sesuatu yang ingin dibelinya. Chaeyeon memiliki hobi memasak dan Ra Eun mengakui jika masakkan yang dibuat sahabatnya itu memang lezat, berbeda sekali dengan dirinya yang masih canggung berhubungan dengan peralatan dapur. Selesai berbelanja, Ra Eun dan Chaeyeon berpisah karena arah pulang mereka berlawanan. Karena jarak rumah nya cukup dekat dari pertokoan, Ra Eun memutuskan untuk berjalan kaki sambil menikmati suasana sore yang cerah. Beberapa kafe dan taman mulai terlihat banyak pengunjung, baik mereka yang tengah istirahat bekerja ataupun mereka yang ingin mencari udara di luar. Saat melewati taman, Ra Eun melihat seorang berseragam Tourin sedang mengambil foto orang-orang yang tengah beraktifitas di taman itu. Ia tak dapat memastikan siapa karena Ra Eun hanya melihat bagian belakangnya saja. Karena penasaran, Ra Eun memutuskan untuk mendekatinya.
          “Hwang Min Hyun” Sapa Ra Eun setelah mengenali wajah siswa nomor 1 di Tourin School itu.
          “Oh, Yoo Ra Eun.”
          “Apa yang…wahhhh.” Perkataan Ra Eun terputus karena perhatiannya kini teralih pada benda yang sedang dipegang Min Hyun.
          “EOS 5D, memiliki sensor full frame, resolusi 30,4 megapiksel, dapat mengambil objek dengan pergerakan cepat dan akurat.” Ra Eun berdecak kagum dan memandang takjub ke arah kamera yang menjadi salah satu hal yang paling diimpikannya saat ini.
          “Hebat,  kau bahkan hafal spesifikasinya.” Min Hyun sendiri tak dapat menahan senyumnya melihat ekspresi takjub Ra Eun.
          “Yaa, semua orang pasti bermimpi memiliki kamera ini. Memangnya… apa yang sedang kau lakukan di taman ini?” Ra Eun melanjutkan pertanyaannya sambil memperhatikan Min Hyun.
          “Aku sedang mengambil foto untuk social project ku. Mmm, Ra Eun-ah. Apa kau sibuk?”
          “Na… ani, wae?” Ra Eun menggeleng.
          “Bisa membantuku?”
          Dan yang terjadi selanjutnya adalah Ra Eun menjadi fotografer dadakan untuk proyek Min Hyun. Setelah mendapat pengarahan, ia mengambil foto yang sesuai dengan konsep. Ra Eun bahkan berhasil mengambil beberapa moment yang pas dan terjadi secara natural. Sedangkan Min Hyun bertugas untuk mewawancarai orang sekitar untuk memenuhi data proyeknya.
          Tak terasa satu jam berlalu, sebagai ungkapan terimakasih Min Hyun mentraktir Ra Eun ice cream. Sebuah bangku di bawah pohon yang cukup rindang dipilih mereka untuk menghilangkan penat.
          “Wahh, hasil jepretanmu sangat bagus, seperti professional saja.” Puji Minhyun sambil membuka satu persatu foto yang telah diambil Ra Eun.
          Ra Eun tersenyum malu. Jadi begini rasanya dipuji oleh orang yang sering diberikan pujian. “Aku bercita-cita ingin menjadi fotografer yang professional suatu hari nanti, jadi aku masih harus banyak belajar. “
          Min Hyun menganggukkan kepalanya, Ia kembali menatap gadis di sebelahnya yang hampir menghabiskan ice cream vanilla hingga perhatiannya tertuju pada gulungan kertas yang keluar dari tas Ra Eun. “Apa yang ada dalam tasmu?”
          Ra Eun yang mengerti maksud Minhyun segera menarik keluar gulungan kertas itu dan memperlihatkan isinya. “Ha ssaem yang memberikannya padaku.”
          Min Hyun membaca sekilas isi poster tersebut kemudian mengangguk-angguk “Apa kau akan ikut perlombaan ini?”
          Mendengar pertanyaan Min Hyun, Ra Eun hanya mengendikkan bahunya. Sejujurnya ia sendiri masih bimbang untuk mengikuti event itu.
          “Ahh, benar, kameramu rusak karena terjatuh dari lantai 3 sekolah.” Min Hyun memiringkan kepalanya, ia bisa mengingat dengan jelas kejadian jatuhnya kamera Ra Eun karena dia sendiri berada tak jauh dari tempat kejadian saat itu.
          “Pakai ini.” Lanjut Min Hyun, sambil menyodorkan kameranya ke arah Ra Eun.
          Ra Eun yang belum sepenuhnya mengerti maksud Min Hyun hanya bisa menatapnya kebingungan.
          “Pakai  saja kamera ini. Lagipula aku sudah selesai dengan dokumentasi proyekku.”
          “Hwang Min Hyun… apa aku bermimpi?”
          Pertanyaan Ra Eun membuat Minhyun tertawa, ia meraih telapak tangan Ra Eun dan meletakkan kamera miliknya di atasnya.
          “Aku meminjamkan kameraku agar kamu bisa mengambil gambar dan mengirimnya pada panitia lomba.”
          Perkataan Min Hyun membuat Ra Eun melonjak kegirangan. Gadis itu bahkan tak henti-hentinya berucap terimakasih. Dibalik wajahnya yang polos, Min Hyun dapat menangkap tekad kuat dan perjuangan. Tanpa ia sadari, wajah ceria gadis itu telah menarik satu sudut kecil di hatinya.
~ ~ ~
          Sohye melangkahkan kakinya pelan seiring putaran roda sepeda yang ditundanya melewati jalanan yang cukup sepi. Ia baru saja menuntaskan pekerjaan untuk mengantarkan laundry kepada pelanggan ibunya. Langkahnya terhenti ketika sebuah suara memanggil namanya.
          “Kim Sohye.”
          Sohye mundur beberapa tapak ketika melihat beberapa gadis dengan pakaian modis mendekatinya. Tubuhnya membeku, berbagai asumsi buruk bermunculan dari kepalanya. Salah seorang dari mereka yang disinyalir ketua dari geng itu mengambil beberapa buku dan menaruh kasar di dalam keranjang sepeda Sohye.
          “Kerjakan tugas kami bertiga. Besok harus diserahkan pada Nam ssaem, dan pastikan untuk tidak membuat kesalahan.”
          Sohye dengan ragu mengambil salah satu buku dari dalam keranjang sepeda kemudian membacanya. ia mengernyit ketika melihat kertas sanksi yang terselip di antara buku itu.
          “I..ini bukan PR kalian?”
          “Eohh, itu hukuman dari Nam ssaem, kami harus menulis essay sebanyak 10000 kata dan dikumpulkan besok. Kau keberatan?”
          Sohye menggeleng pelan, ia menatap sejenak tugas essay yang begitu banyak, apalagi ia harus mengerjakan untuk tiga orang sekaligus, tiba-tiba ia teringat ibunya yang ada di rumah “Tapi.. ibuku sedang sakit dan aku harus membantu beberapa pekerjaannya. Aku tidak yakin dapat menyelesaikannya malam ini”  
          Jawaban Sohye menyulut emosi si ketua geng, Na Bora, ia kemudian menarik rambut Sohye dan berbisik di telinganya “Yaa.. kau hanya perlu menggunakan otakmu seikya.”  
            Bora mendorong kepala Sohye hingga membuatnya hampir hilang keseimbangan. Tidak ada rasa kasihan sama sekali, yang ada hanyalah tawa penghinaan dari mulut-mulut gadis itu. Sohye mencoba menahan matanya yang mulai memanas, ini sudah menjadi hal biasa baginya.
          “Wahh wahh, ternyata semudah itu kalian mengerjakan essay.” sebuah suara menghentikan aktivitas Na Bora dan teman-temannya.
          “Yaa.. Park Ji Hoon, mwohaneungoya?” Bora menatap sinis saat melihat kedatangan Ji Hoon, ia semakin geram saat mengetahui Ji Hoon mengarahkan kamera ponselnya ke arah mereka.
          “Sohye-ah, kau bisa mendapat tambahan poin karena sering menulis esai. Tapi sayang sekali, essay-essay mu digunakan untuk menebus kesalahan orang lain” Ujar Ji Hoon sambil menurunkan ponselnya.
          Bora mengepalkan tangannya dan berjalan ke arah Ji Hoon, ia berniat untuk merebut ponsel itu namun tak bisa karena Ji Hoon mengalihkannya dengan cepat “Kau tak usah ikut campur Park Ji Hoon, ini urusan kami. Lebih baik kau pulang dan urus kedai dagingmu.”
          Ji Hoon hanya menanggapinya dengan kekehan. Salah satu teman Bora mendekat dan membisikkan sesuatu kepadanya. Mereka tampaknya tak mau memperpanjang urusan sehingga memutuskan untuk beranjak dari tempat itu.
          “Kau baik-baik saja?” Ji Hoon memastikan keadaan Sohye yang masih terlihat gemetar.
          “Aku baik-baik saja. Park Ji Hoon kumohon, jangan berikan video itu kepada Nam ssaem.”  
          “Tenang saja, aku akan menunjukkannya saat kau sudah siap menjadi pembela untuk dirimu sendiri.”
          Sohye terdiam, Ji Hoon benar. Ia masih tak berani keluar dari belenggu Bora dan teman-temannya. Kadang ia  merasa satu sisi dirinya berontak untuk bangun dari mimpi buruk, namun di sisi lain, sesuatu masih menahan keberaniannya untuk tetap tidur. Ia kembali memandang Ji Hoon yang mulai beranjak meninggalkannya, entah kenapa Sohye merasa bisa menaruh harapan pada sosok itu.
~ ~ ~
Bel istirahat pertama, Ji Hoon melangkahkan kakinya cepat melewati koridor yang mulai dipenuhi lalu lalang siswa. Sesekali ia memainkan smartphonenya seperti membalas pesan dari seseorang. Hingga langkah kakinya membawa ke tempat yang jauh dari keramaian, tepatnya menuju halaman belakang sekolah. Tanpa memperhatikan sekitar, Ji Hoon langsung menaiki tangga yang bersandar pada tembok dengan tinggi 2,5 meter itu, tanpa ia sadari seseorang sedang memperhatikan tindakannya.
          “Yaa.. kau lagi.”
          Teriakkan seorang siswa membuat Ji Hoon menghentikkan langkahnya yang hampir mencapai puncak tangga dan menoleh ke bawah.
          “Mau ikut?” tak berniat menghentikan tindakannya, Ji Hoon justru mengajak gadis yang kini tengah menatapnya tajam.
          “Memangnya kau mau kemana?”
          “Namsan Tower.”
          Jawaban Ji Hoon justru membuat gadis itu diam, ia nampak menimbang-nimbang pikirannya.
          “Sebenarnya aku..”
          Belum sempat gadis itu menyelesaikan perkataannya sebuah teriakkan keras mengejutkan mereka.
          “Park Ji Hoon, Yoo Ra Eun.. ke kantor guru sekarang juga.”
          ~ ~ ~
          Ra Eun tak habis pikir, bagaimana bisa ia ikut menanggung beban hukuman dengan alasan percobaan membolos. Berkali-kali ia meyakinkan Nam ssaem bahwa dirinya tidak berniat untuk melakukan hal itu dan hanya memberi teguran pada Ji Hoon yang sedang mencoba kabur dari sekolah. Namun percuma, Nam ssaem tetap berpegang dan membenarkan asumsi awal dari apa yang dilihatnya.
          Ra Eun menempelkan lap basah ke kaca ruang laboratorium dengan kasar, kemudian menggerakkannya dengan cepat. Ia mendesis melihat ke arah Ji Hoon, wajah innocent itu benar-benar membuatnya kesal.
          “Ya.. kenapa kau tak mengatakan yang sebenarnya?” Ra Eun sudah tak sabar melihat Ji Hoon yang hanya diam.
          “Percuma, walaupun itu bukan kau, Nam ssaem pasti akan memberikan hukuman yang sama.”
          “Setidaknya kau bisa memberikan pembelaan untukku, Park Ji Hoon.”
          “Kudengar kau akan ikut kompetisi fotografi. Sebenarnya kau juga ingin mencari kesempatan untuk keluar dari sekolah kan?
          Ra Eun terhenyak, bagaimana bisa pria ini menebak fikirannya. Namsan Tower memang menjadi salah satu opsi Ra Eun untuk objek fotonya. Namun padatnya jadwal sekolah membuatnya kesulitan mengatur waktu, lagipula jarak dari rumahnya ke sana cukup jauh.
          Namun tetap saja, Ra Eun merasa menyesal. Andai saja tadi ia tak memergoki Ji Hoon, mungkin ia tak akan dihukum membersihkan kaca dan menjadi bahan bisikan dan tawaan para siswa yang melewati mereka.
          Ra Eun menghentikkan kegiatan melapnya, ia berbalik dan menyandarkan belakangnya ke dinding kemudian memijit perlahan bahunya yang mulai pegal. Ra Eun menarik nafas dalam setelah menghitung jumlah jendela masih harus dibersihkan.  Di tengah rasa penatnya, tiba-tiba ia mendengar suara benda jatuh dari dalam laboratorium. Karena penasaran ia kemudian masuk untuk melihat.
          “Kim Sohye, gwenchana?” Ra Eun dengan cepat menghampiri Sohye yang tengah memungut beberapa bejana percobaan yang jatuh ke lantai.
          “Tak apa Ra Eun.”
          “Untung tidak ada yang pecah.” Ra Eun membantu Sohye memunguti bejana-bejana itu dan meletakkannya ke dalam keranjang. Sekilas ia dapat melihat raut wajah Sohye yang pucat dengan lingkaran hitam di bawah matanya.
          “Kau sakit?”
          “Ti..tidak.. aku hanya mengantuk karena begadang untuk belajar malam tadi.”
          “Ckck.. orang pandai sepertimu saja masih perlu begadang untuk belajar, bagaimana dengan orang biasa seperti aku. “
          Perkataan Ra Eun membuat Sohye terkikik.
          “Gomawo Ra Eun-ah sudah membantuku. Oh ya, semangat untuk membersihkan kacanya. Kalau begitu aku kembali ke kelas dulu.”     
          Ra Eun mengangguk kemudian mengikuti langkah Sohye yang telah meninggalkan ruang laboratorium terlebih dulu. Ra Eun kembali mengambil beberapa lap basah dan melangkah menuju bagian jendela yang masih belum dibersihkan. Namun tiba-tiba dari kejauhan ia melihat kepala sekolah dan sekelompok orang berjas hitam berjalan melewati lorong tempat mereka berada. Ia pun segera berlari ke arah Ji Hoon.
          “Ji Hoon-ah, berhentilah. Kepala sekolah dan beberapa orang akan lewat” Ra Eun menepuk cepat bahu Ji Hoon.
          Ji Hoon tak menghiraukan, ia justru masih asyik dengan kegiatan melapnya. Orang-orang itu semakin dekat, karena geram akhirnya Ra Eun menarik seragam Ji Hoon.
          “Yaaa.. palli .. berbaliklah.”
          Bosan karena bajunya terus ditarik oleh Ra Eun, Ji Hoon dengan malas membalikkan badannya. Berbeda dengan Ra Eun yang segera membungkukkan badan, Ji Hoon justru berdiri mematung saat kepala sekolah dengan beberapa orang berambut pirang dan seorang lagi yang cukup ia ketahui, Ayah Somi komite sekaligus donator terbesar sekolah Tourin, berjalan melewatinya. Namun senggolan dari Ra Eun membuatnya tersadar dan membungkukkan kepalanya sekilas kemudian kembali pada aktivitasnya. Tanpa Ra Eun ketahui, Ji Hoon saat ini tengah menahan gejolak di dalam hatinya karena untuk kesekian kali ia melihat sosok yang benar-benar tak ingin dijumpainya.
~ ~ ~
          Guru Ha hampir selesai menggoreskan kapurnya ke atas papan tulis membentuk susunan kata yang membuat siswa di kelas F-2 mengeluh panjang, bahkan beberapa diantara mereka terdengar mengumpat kecil.
          “Baiklah, sebelum kalian bertanya dan protes, Bapak akan menyampaikan bahwa kompetisi ini adalah kerjasama Sekolah Tourin dengan Universitas London, dan jika kalian mendapat nilai termasuk kriteria, kalian memiliki kesempatan untuk mendapat  beasiswa melanjutkan pendidikan di sana.” Guru Ha menarik nafasnya dalam, ia dapat menangkap ekspresi wajah-wajah siswanya yang sama sekali tak menunjukkan ketertarikan, hingga seorang siswa mengangkat tangannya.
          “Ssaem, ini tak ada bedanya ujian, dan tentang pengurangan poin bagi siswa yang mendapat nilai di bawah standar benar-benar tidak masuk akal. Bukankah kompetisi semacam ini seharusnya hanya dikhususkan untuk siswa kelas A?”
          “Ne, ssaem. Kami sadar diri, kami adalah siswa kelas F, Fool Class.” Sambung Jaehwan lain yang justru membuat siswa lain menunjukkan kepalan tangan kepadanya.
          “Ssaem kami keberatan.”
          “Ha ssaem, aku sangat benci Fisika.”
          “Lebih baik aku tidak ikut, walaupun ikut, aku pasti akan mendapat pengurangan poin.”
          Ha Soek Jin Songsaengnim memusut wajahnya. Ia sudah tahu jika keputusan ini pasti akan mendapat penolakan dari siswa-siswanya. Awalnya ia sangat senang karena semua siswa memiliki kesempatan untuk mengikuti kompetisi tersebut, namun peraturan pengurangan poin bagi siswa yang mendapat nilai dibawah standar membuatnya keberatan. Ia telah mencoba bernegosisasi dengan kepala sekolah, namun tak berhasil.
~ ~ ~
          Two days latter
          “Mian Seohye-ah, aku benar-benar ingin membantumu tapi…”
          “Gwenchana, aku bisa melanjutkannya sendiri. Kau tak perlu khawatir.”
          “Jinja.. jongmal gomawo, aku akan mentraktirmu nanti.”
          “Kau tak perlu repot, baiklah, hati-hati dijalan.”
Seohye memandang kepergian temannya, lebih tepatnya partner satu divisi di organisasi siswa Sekolah Tourin. Niat awal mereka akan menyelesaikan proposal kegiatan musim panas sehabis jam sekolah, namun kini Sohye harus mengerjakannya sendiri karena partnernya harus pulang lebih awal untuk bertemu dengan mentor baru bimbingan belajarnya. Sebenarnya ada rasa iri dalam diri Sohye, dimana semua siswa kelas A kecuali dirinya memiliki konsultan pendidikan. Ia sadar bahwa orang tuanya tak akan mampu membayar seorang mentor belajar apalagi seorang konsultan, karena itulah Sohye selalu belajar mandiri agar ia terus bisa berada di kelas unggulan.
Tak terasa sudah 2,5 jam Sohye mengerjakan proposal. Ia merenggangkan otot tangan dan lehernya sambil melihat ke arah jam yang telah menunjukkan pukul 21.45. Ia sadar bahwa tidak ada satupun siswa di sekolah pada jam ini kecuali dirinya, semua guru juga pasti sudah pulang. Setelah mencek kembali isi proposal dan merapikan peralatan, Sohye bergegas menuju ruang guru untuk meletakkan proposal di meja Guru Jang sesuai dengan janjinya sore tadi.
Sohye melangkah cepat melalui koridor sekolah yang cukup gelap. Saat ia hampir tiba di ruang guru, sesuatu membuat Sohye mengerutkan kening ketika melhat cahaya di dinding depan ruang guru, karena penasaran Sohye segera berlari. Tepat saat ia membuka pintu, sesuatu membuat tubuhnya membeku, jantungnya berdetak cepat  memompa deras aliran darahnya, proposal ditangannya pun jatuh begitu saja. Kedua bola matanya yang terbuka lebar memantulkan cahaya kobaran api yang menyala-nyala dari satu sudut ruang guru Sekolah Tourin.

To be continued

Niat awal pengen bikin oneshoot, malah jadi chaptered. Padahal nulis aja masih canggung dan keteteran karena udah lama ga aktif..  I guess I’ve to learn more… ;-)





         





Tidak ada komentar:

Posting Komentar